November 26, 2008

Bercermin pada Transportasi Publik di Adelaide

Sudah hampir 2 bulan ini saya berada di Adelaide, Ibukota Negara Bagian Australia Selatan (South Australia). Ketika datang sekitar awal September 2008 lalu, saya betul-betul bingung sekaligus terkesan dengan sistem transportasi yang dikembangkan di kota ini. Bagaimana tidak, memakai jasa layanan transportasi publik sudah menjadi andalan saya sejak di Yogyakarta dengan Kopata-nya maupun di Jakarta dengan Trans-Jakarta atau Kopaja. Bukan hendak membandingkan, namun menikmati jasa transportasi publik di Adelaide bagi saya terasa lain.

Kebijakan transportasi publik di Adelaide diatur oleh lembaga pemerintah bernama Department for Transport, Energy and Infrastructure. Dalam departemen ini ada divisi transportasi publik yang bertanggungjawab terhadap tata kelola transportasi publik di Adelaide yang dikenal dengan nama Adelaide Metro (AM). Dalam penyediaan layanan transportasi publik, AM memiliki beberapa mitra seperti Trans Adelaide yakni A Government agency that provides the Adelaide Metro train and tram services.lembaga pemerintah yang menyediakan layanan kereta dan trem; Torrens Transit yang menyediakan layanan bis di jalur lingkar Timur dan Barat; SouthLink yang menyediakan layanan bis ke arah jalur lingkar Utara dan Selatan; serta Transitplus yang menyediakan layanan bis ke daerah perbukitan dan sekitarnya. Para mitra ini dikontrak untuk memberikan jasa layanan selama 5 tahun dengan opsi perpanjangan, tergantung pada kinerja dan kesepakatan nilai kontrak. Penilaian kinerja ini dilihat dari berbagai aspek; harga tiket yang diberikan, kepuasan dan keamanan penumpang serta manajemen infrastruktur (www.adelaidemetro.com.au/ diakses pada 28 Oktober 2008).

Sejauh pengalaman saya memakai transporasti publik di Adelaide, setidaknya ada 3 jenis moda transportasi publik yang lazim dikenal yaitu bis (807 buah), kereta (94), dan trem (15). Bisa dikatakan, semua jenis transportasi ini terawat dengan baik dan memakai bahan bakar gas yang lebih murah dan ramah lingkungan.

Murah dan Efisien

Rata-rata penduduk di Adelaide lebih suka menggunakan transportasi publik daripada kendaraan pribadi. George, 60 tahun, warga Australia asal Yunani yang telah 20 tahun lebih tinggal di Adelaide, mengaku lebih suka naik bis karena lebih murah, nyaman, dan relatif aman. “Saya memang punya mobil, tapi dengan naiknya harga bensin, menggunakan transportasi publik lebih efisien dan murah,” kata pria yang saya temui ketika sama-sama menunggu bis di sebuah halte di daerah Goodwood Road.

George hanya satu di antara ribuan warga kota Adelaide yang memilih menggunakan transportasi publik. Dengan kebijakan tiket konsesi, memakai jasa transportasi publik jelas lebih hemat. George memberi gambaran, jika memakai mobil, harga bensin per liter sekitar $ 1,45. Belum lagi biaya parkir yang biasanya dihitung per jam.

Pemerintah membuat kebijakan tiket konsesi bagi pelajar dan mahasiswa (termasuk mahasiswa internasional), pensiunan, veteran perang maupun orang tua. Dengan tiket konsesi ini, kita cukup membayar separo harga dari tiket normal. Sistem tiket ini dikenal dengan nama metroticket, sebuah sistem otomatis yang menggunakan strip magnetik untuk mengetahui berapa kali digunakan dan validasi jam penggunaan. Tiket ini bisa dibeli di kantor pos atau toko yang ditunjuk. Menariknya, hanya dengan membeli satu tiket, kita bisa bepergian dengan beragam jenis moda transportasi publik yang ada (bis, kereta dan trem) tanpa harus membeli tiket lagi selama dua jam. Artinya, jika kita masuk ke salah satu jenis transportasi publik pada jam 9 pagi, maka kita tidak akan terkena biaya apapun untuk bepergian hingga jam 11 pagi pada hari yang sama.

Ada tiga jenis tiket yang dikenal yakni singletrip (sekali perjalanan), multitrip (sepuluh perjalanan) dan daytrip (tiket harian). Data tahun 2005-2006 di situs Adelaide Metro menunjukkan, mayoritas penumpang menggunakan multitrip (71%) dan hanya 22 persen yang memilih menggunakan singletrip. Pilihan untuk mengunakan tiket multitrip memang beralasan. Untuk tarif normal, kita dikenakan biaya $ 15.30 jika melakukan perjalanan pada Senin-Jumat pada jam 9 pagi hingga 3 sore. Adapun tarif konsesinya hanya $ 7.30. Tiketnya berwarna hitam.

Jika kita hendak bepergian selain waktu tersebut dan pada Sabtu-Minggu, maka tarif normalnya adalah $ 27.80 dan jika menggunakan tarif konsesi hanya sebesar $ 13.80. Tiketnya berwarna merah. Untuk jenis multitrip ini bisa digunakan kapan saja selama 10 kali perjalanan, tergantung pemakaian kita. Bandingkan dengan harga singletrip yang mencapai $ 2.10 untuk harga konsesi atau $ 4.20 untuk non-konsesi.

Setiap tiket dimasukkan ke kotak yang disebut validator machine. Jangan coba memasukkan tiket yang sudah kadaluarsa atau tiket konsesi padahal kita tidak masuk dalam kategori tersebut. Jangan pula tidak memasukkan tiket sama sekali. Jika kebetulan ada pemeriksaan dan kita melakukan pelanggaran, dendanya sangat tinggi.

Jangan bayangkan ada semacam kondektur di angkutan publik. Setiap bis hanya ada satu sopir. Bila hendak naik bis, kita cukup berdiri di dekat halte dan melambaikan tangan. Jika hendak berhenti, kita cukup memencet bel yang ada di hampir tiap kursi dan sopir akan berhenti di halte berikutnya.

Tepat Waktu dan Aman

Sistem transportasi publik di Adelaide terencana baik dan dijalankan secara profesional. Setiap bis punya jadwal yang ditentukan sedemikan rupa di tiap haltenya. Artinya, kita cukup mengetahui jadwal bis melewati halte tempat kita menunggu. Misalnya, saya hendak ke Central Market di kota. Salah satu bis yang menuju ke sana bernomor 199. Bis itu akan melewati Halte 26 detak rumah saya pukul 9 pagi. Nah, kita cukup menunggu bis pada jam tersebut. Pemerintah menjamin jadwal bis tak akan jauh melenceng. Keterlambatan maksimal hanya 15 menit. Pemerintah merilis informasi jadwal dan rute bis di internet maupun melalui leaflet yang disediakan gratis di tempat-tempat umum.

Di Adelaide, menjadi lelaziman untuk mendahulukan orang tua, orang cacat, ibu hamil maupun ibu yang membawa anak ketika kita akan menaiki bis. Jika ada orang dengan kategori tersebut, sang sopir segera akan memiringkan bis agar mereka bisa naik dengan nyaman dan aman. Tak hanya itu, orang tua atau difabel juga mendapat tempat duduk di bagian depan yang lebih longgar. Penumpang difabel dengan kursi roda diberi tempat khusus agar tetap bisa duduk di kursi rodanya sendiri.

Bis di kota ini dilengkapi kamera guna mencegah terjadinya kejahatan. Di beberapa halte utama, pemerintah juga memasang kamera pengawas agar penumpang tak takut bepergian hingga larut malam. Suatu kali saya pernah bepergian dan berhenti di sebuah halte di pinggiran kota, Klemzig Station namanya. Di stasiun ini, kamera pengawas memantau segala aktivitas yang ada selama 24 jam. Selain itu, stasiun-stasiun di Adelaide juga menyediakan lahan parkir agar warga dari luar kota bisa memarkir mobil dan berganti dengan transportasi publik.

Menariknya lagi, Adelaide Metro juga menyediakan layanan bis dan trem gratis yang berkeliling di tengah kota dan berhenti di tempat-tempat strategis seperti Victoria Square, Central Market, atau The South Australian Museum. Karena itu, jika ingin berkeliling kota, kita cukup menggunakan angkutan gratis yang disebut dengan city loop ini.

Modal Komitmen

Menilik sistem transportasi di Adelaide tersebut, terlihat bahwa pemerintah sedari awal telah berkomitmen untuk menciptakan jaringan transportasi publik publik yang aman, nyaman, dan murah. Dengan sistem ini, pemerintah mengajak warganya berhemat sekaligus menyelamatkan lingkungan. Menggunakan transportasi publik, demikian kampanye pemerintah, bisa menghemat uang hingga 10.000 dollar Australia dan mengurangi gas rumah kaca hingga 3,1 ton.

Sistem transportasi di Adelaide juga mencerminkan keberpihakan pemerintah kepada pelajar dan mahasiswa, orang tua, veteran hingga pensiunan. Keamanan dan kenyamanan transportasi publik membuat orang berpikir ulang untuk memakai mobil ketika bepergian. Jika ada komitmen dan kemauan dari pemerintah, menghadirkan model transportasi publik ala Adelaide di kota-kota di Indonesia rasanya bukan mimpi.

bisa dilihat di;
http://www.ireyogya.org/ire.php?about=f31_potensi.htm

November 18, 2008

Menjumpai Demokrasi ala Amerika di Rusia

Kisah nyata tentang 3 orang Amerika yang ikut “bermain” dalam pemilu di Rusia.

Sejarah Rusia pada tahun 1996 adalah era dimana pemilihan umum yang bebas untuk pertama kalinya akan digelar. Namun, ada kegelisahan yang menyelinap dihati Boris Yeltsin, Presiden Rusia waktu itu. Ia menghadapi persoalan serius; tentang popularitasnya yang rendah dimata rakyat, padahal pemilu tinggal beberapa bulan lagi.

Inilah cerita film yang berjudul Spinning Boris; Electing A Russian President. Cerita film diawali seorang Rusia yang menghampiri tiga orang konsultan politik Amerika, George Gorton, Dick Dresner dan Joe Shumate. Setelah dilobi beberapa saat, mereka bertiga setuju untuk bergabung dengan tim kampanye guna memuluskan jalan Boris Yeltsin.

Disambut hawa dingin kota Moscow, tibalah tiga orang tersebut di salah satu bandara di Rusia. Sekelompok pengawal yang lengkap dengan senjata, segera menggambarkan betapa kondisi Rusia, Moscow khususnya, masih diliputi ketegangan sisa-sisa kekuasaan komunis. Cerita pun dimulai ketika para konsultan tersebut bertemu dengan putri Yeltsin yang ikut bertanggungjawab dalam tim, Tattiana. Adegan demi adegan akan sering dipenuhi dengan bagaimana metode kampanye ala Amerika dihentakkan kepada Yeltsin melalui para pengawalnya, yang nota bene masih memegang teguh tata nilai ala Rusia yang kaku dan tidak begitu begitu mempedulikan audience, misalnya.

21 Februari 1996, sekitar tiga bulan sebelum hari H pemilihan umum di Rusia, wajah Rusia telah mulai akrab dengan berbagai ikon globalisasi, seperti Coca Cola dan lainnya. Di bidang politik, tentu saja demokrasi sudah mulai bersemai kedalam tubuh masyarakat. Lalu, bagaimana demokrasi yang dibayangkan masyarakat Rusia bertemu dengan demokrasi dari wilayah yang sering menyebut dirinya kampiun demokrasi?

Disinilah sisi menarik film tersebut. Secara telanjang, film ini menggambarkan pergulatan yang terjadi dalam tim kampanye kandidat presiden Rusia pada pemilu tahun 1996, Boris Yeltsin. Tattiana, putri Yeltsin yang memegang peranan penting dalam tim kampanye, berhadapan dengan George, Dick dan Joe, tiga konsultan kampanye yang telah malang melintang di negerinya, Amerika.

Pergulatan tersebut mulai terlihat ketika, tiga konsultan tersebut mendesak Tattiana agar mempertemukan mereka dengan Yeltsin. Dalam benak Joe dkk., tidak klop jika dirinya sebagai tim kampanye yang disewa dari Amerika tidak bisa bertatap muka langsung dengan orang yang akan diusungnya. Permintaan ditampik Tattiana, sambil menjelaskan bahwa dirinyalah yang akan menyampaikan masukan kepada ayahnya, bukan Joe dan kawan-kawannya.

Yang tidak boleh terlewatkan adalah bagaimana media, terutama televisi, mempertontonkan jajak pendapat antara Yeltsin yang dianggap representasi demokrasi, berhadapan dengan Zyuganov, representasi Komunis. Pencitraan media ini juga dengan cerdik terus dipantau Joe dkk. Suatu pekerjaan yang pada awalnya diabaikan Tattiana dan timnya. Lewat analisa yang jitu, Joe dkk berhasil mendongkrak perolehan Yeltsin dalam jajak pendapat di televisi Rusia. Tentu saja, masukan dari Joe dkk tidak dengan mulus diterima Tattiana. Ini terlihat ketika usulan agar Yeltsin mau berdansa, tersenyum, menggendong anak kecil, bahkan menyerang calon presiden yang menjadi lawannya dalam pemilu, dianggap tidak sesuai dengan budaya politik Rusia dan sangat berbau demokrasi Amerika. Namun demikian, perdebatan pun berujung ketika Yeltsin akhirnya mau menjalankan dan terbukti melambungkan suaranya dalam jajak pendapat di tv. Buktinya, dari 6% untuk Yeltsin dan 30% untuk Zyuganov, pada waktu pemilu kurang sekitar 4 bulan, hingga mencapai 20% bagi Yeltsin berbanding 22% untuk Zyugabov ketika hari H pemilu tinggal 8 hari lagi.

Sisi lain yang menarik adalah bagaimana tim kampanye bekerja dan menemui masyarakat kelas bawah untuk lebih mendekatkan calon kepada warga. Dari sini terlihat betapa tim kecil, yang dikomandoi Vasso, bergerak ke akar rumput menelusuri dan memetakan persoalan masyarakat. Ini terlihat ketika tim kecil datang ke masyarakat petani. Dalam forum kecil tersebut terungkap betapa kelompok petani, misalnya, tidak begitu peduli dengan tanah, tapi yang mereka inginkan adalah ketenangan, dan munucul juga pertanyaan menarik dari salah seorang petani, “kami takut jika komunis menang, akan ada perang sipil antara yang kaya dan yang miskin.” Dan di forum kecil seperti itulah, upaya mempopulerkan calon lebih terasa, dan akhirnya mengantarkan Boris Yeltsin ke tampuk kekuasaan Rusia dengan 35,2 %.
Rusia dan Pemilihan Presiden 1996

Pemilu merupakan instalasi yang cukup penting bagi demokrasi. Robert A. Dahl (2001:132), mendedahkan, jika kita menginginkan persamaan politik, maka setiap warga negara harus memiliki sebuah kesempatan yang sama dan efektif dalam memilih, dan semua suara harus dihitung sama. Jika persamaan dalam memberikan suara dilaksanakan, jelaslah pemilu harus bebas dan adil. Bebas, artinya warga negara dapat pergi ke tempat pemungutan tanpa rasa takut, dan adil artinya, semua pemilih harus dianggap sama. Inilah dua prinsip utama dalam pelaksanaan pemilu.

Sutoro Eko (2004:31-32) menjelaskan, pemilu bukanlah persitiwa politik luar biasa, apalagi di negara yang menyandang gelar advanced democracy. Dalam teori demokrasi minimalis (Schumpeterian), pemilu merupakan arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) untuk meraih kekuasaan; partisipasi politik rakyat serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga. Namun demikian, ia sering menjadi hal yang luar biasa jika terjadi di negara yang baru saja keluar dari fase otoriter dan masih dalam tahap transisi, seperti Rusia 1996. Dalam konteks pemilihan Presiden Rusia 1996, ada beberapa hal yang menarik dicermati, terutama keterlibatan tiga orang Amerika yang menjadi konsultan kampanye Boris Yeltsin. Dikatakan menarik, karena terjadi internalisasi trik berkampanye ala Amerika, disebut juga dengan phony American tricks, dalam prilaku berkampanye Boris Yeltsin utamanya. Ketika Yeltsin berdansa, mengunjungi pemuka agama, menggendong anak kecil, dan mengumbar senyum ke publik, sangat terasa sekali gaya Amerikanya. Apalagi televisi menyiarkannya secara gencar. Bisa disebut, inilah gaya demokrasi, terutama dalam kampanye dan komunikasi politik, ala Amerika yang mengedepankan keterbukaan, memaksimalkan kompetisi dan memanfaatkan media.

Pemilihan Presiden Rusia tahun 1996, dalam pandangan Larry Diamond (2003:38-39), dikatakan relatif berhasil dan menjadi sebuah langkah penting ke arah pelembagaan persaingan electoral. Namun demikian, hal itu juga bisa dipandang lebih sebagai suatu cara untuk menghindari bencana politik ketimbang sebagai sebuah capaian penting pada kebebasan politik.

Demokrasi dan Rekayasa Pemilu

Kaitan antara pemilu dan demokrasi sangatlah erat. Munafrizal Manan (2005: 111) mengatakan, pemilu merupakan sarana yang penting bagi terselenggaranya sistem politik yang demokratis. Selain itu, pemilu memberikan landasan legitimasi yang kukuh bagi setiap pemerintahan. Lalu, bagaimana jika pemilu dilakukan secara bebas, adil dan jujur, tapi didalamnya ada suatu permainan, rekayasa, bahkan manipulasi pelaksanaan pemilu demi kemenangan suatu calon?

Rekayasa pemilu, jika mengarah pada kecurangan, manipulasi, diskriminasi, dan bahkan initimidasi, maka ini menjadi kecelakaan bagi demokrasi. Munafrizal (2005: 112) menegaskan, kondisi ini bisa terjadi karena pemilu hanya dijadikan sebagai formalitas demokrasi untuk memperkokoh kekuasaan rezim yang berkuasa.

Sebaliknya, rekayasa pemilu dengan pendekatan rasional dan partisipastoris, seperti penyelenggaraan jajak pendapat yang jujur dan proporsional, mendatangi langsung ke warga kelas bawah untuk mencari akar permasalahan yang duhadapi, lalu dirumuskan menjadi isu dan program seorang calon, maka hal ini berkontribusi positif terhadap perkembangan demokrasi. Hal ini justru membuat demokrasi lebih bermakna.

Bagi saya, pernyataan Yeltsin, melalui Tattiana, jika dirinya tidak dapat memenangkan pemilu presiden, maka demokrasi akan terancam keberlanjutannya, menyiratkan adanya keinginan untuk melanggengkan kekuasaan. Ini pula yang menjadi salah satu alasan kenapa tiga orang konsultan politik Amerika didatangkan.

Apa yang dilakukan Yeltsin dan tim kampanyenya, bagi penulis, menjadi kontribusi positif bagi demokrasi di Rusia. Rekayasa yang dilakukan, pada akhirnya memunculkan dialektika antara demokrasi ala Amerika dan demokrasi yang dibayangkan orang Rusia. Hal ini bergitu terlihat ketika, Joe dkk., “mengajarkan” bagaimana harus memanfaatkan media sebagai komunikasi politik, mendatangi warga yang masih mengambang, mendekati masyarakat dengan apa yang diinginkan mereka, serta mengajak bicara dengan warga tidak dengan perut kosong. Yang terakhir ini tentu menyiratkan adanya kampanye yang tidak mengabaikan realitas masyarakat Rusia yang masih dilanda kemiskinan.


Masa Depan Demokrasi di Rusia

Sebagai negara yang baru saja lepas dari komunisme, wacana demokrasi dan keberanjutannya menjadi sangat penting. Menurut Larry Diamond (2003:11), jika memakai definisi minimalis yang hanya menekankan pada aspek elektoral, maka Rusia tergolong negara demokrasi. Tapi menurut konseptualisasi yang lebih ketat, Rusia mungkin tidak masuk dalam kategori demokrasi liberal. Lalu, apakah demokrasi di Rusia puas dengan hanya status demokrasi minimalisnya dan hanya demokrasi prosedural? Tentu tidak.

Jika demokrasi prosedural saja dianggap cukup, maka akan tercapai titik jenuh ketika persoalan yang terjadi di masyarakat tidak segera terselesaikan. Demokrasi prosedural harus diimbangi pula dengan demokrasi substansif yang harus dipraktikkan dalam kehidupan keseharian. Suatu masyarakat tidak noleh berpuas diri hanya karena bisa menyelenggarakan suatu pemilu dengan baik.

Dalam semesta pembicaraan demokrasi ini, saya lebih apresiatif terhadap demokrasi komunitarian. Sutoro Eko (2004:57-58) menjelaskan, prinsip dasar demokrasi ini adalah bahwa masyarakat berskala besar dan pemerintah hidup lebih lama daripada banyak utilitas mereka dan mereka perlu diganti oleh unit pemerintahan yang lebih kecil. Basis yang tepat bagi pemeriintahan adalah komunitas. Dalam pandangan ini, otonomi perseorangan menyatakan penghormatan yang substansial terhadap otonomi individu lain dan juga memelihara proses aktualisasi diri. Tindakan yang mungkin membahayakan terhadap kesejahteraan bersama tidak dapat diterima, sekalipun mereka memenuhi keinginan individualistik beberapa anggota masyarakat.

Dengan demokrasi komunitarian ini, penulis yakin bahwa masyarakat Rusia tidak akan canggung dan tidak akan tergagap menerima prinsip demokrasi. Jika demokrasi liberal gaya Amerika yang ditawarkan, maka ada rasa kebersamaan yang hilang. Memang, hak-hak individu lebih terakomodir, tapi kehidupan berkomunitas yang sekian tahun terbangun seolah kurang menemukan ruang yang memadai.

***

Demikianlah kisah pergulatan demokrasi masyarakat Rusia yang bersua dengan gaya demokrasi Amerika. Ada pertentangan tata nilai dan budaya, sampai akhirnya, Rusia menerima model demokrasi Amerika dan menjalankan keterbukaan politik.

Oktober 15, 2008

Siang yang begitu panjang.....

Ketika masih duduk di bangku tsanawiyah dulu, tepatnya di madrasah Qudsiyyah-Kudus- sekira 16 tahun yang lalu, saya pernah mendapat pelajaran ilmu Falak atau ilmu Hisab. Dalam ilmu ini, saya tidak hanya belajar hitung menghitung waktu untuk menentukan awal waktu sholat maupun menghitung awal bulan hijriyah dengan beragam rumus dari kitab badi’at al-mitsal, tetapi juga mendapat teori untuk menghitung lama-pendeknya suatu siang atau malam dalam suatu hari.

Pernah suatu waktu, saya dan teman-teman diminta pak guru untuk menghitung lama-pendeknya waktu siang di suatu kota di Rusia. Yang terjadi saat itu adalah waktu siang tidak lebih hanya sekitar 6-7 jam. Kami pun mencoba membayangkan bagaimana jika harus berpuasa Ramadhan dengan kondisi dimana siang lebih panjang daripada malam. Karena hanya sekedar tugas dari pak guru, saya yang saat itu masih berumur belasan tahun dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan kondisi dimana siang atau malam menjadi lebih panjang, tidak memiliki refleksi apapun terhadapnya. Apalagi implikasinya pada kehidupan yang lebih luas. Tentu, saya dan teman-teman hanya bisa berkata; ini pak hasil tugasnya. Ternyata siangnya lebih panjang daripada malamnya. Pak guru sendiri tidak banyak memberi penjelasan apa yang terjadi dengan suatu daerah dimana siang lebih panjang dan malam begitu pendek.
Tapi, 16 tahun kemudian, ketika saya sedang tinggal di Adelaide, ibukota negara bagian South Australia, mengalami kondisi dimana siang menjadi lebih panjang daripada malamya. Ya, itu terjadi pada hari Ahad, 5 Oktober 2008 lalu. Orang menyebutnya sebagai Daylight saving time. Sebagai pendatang baru di negerinya Kevin Rudd, tiba-tiba saja ada pemberitahuan bahwa putaran jam harus berputar lebih cepat 1 jam. Seumur-umur, baru kali ini ada perintah untuh mempercepat putaran jarum hingga 1 jam. Artinya, jam kita yang awalnya jam 12.00, langsung diminta berputar pada arah jam 1.

Si Raymond el Halou, kakek asal Lebanon yang tinggal serumah, bahkan sempat kelabakan ketika mau pergi ke gereja. Pasalnya, dia mengira masih jam 08.30 pagi, padahal sebetulnya sudah jam 09.30, waktu dimana dia harus bersiap pergi ke gereja. Untungnya, temannya sesama jamaah gereja segera datang dan membangunkannya. Ketika dia pulang dari gereja, dia bercerita kalau tidak hanya dia yang kelabakan dengan perubahan jam tersebut. Banyak jamaah gereja yang datangnya terlambat gara-gara daylight saving time ini. “Pemerintah Australia telah mengumumkan soal daylight saving time ini kepada warga baik lewat radio atau televisi,” kata Raymond kepadaku. Namanya orang, tetap saja ada lupanya. Al-insan mahal al-qotho' wa an-nisyan, kata orang arab.

Memang. Daylight saving time ini membuat waktu siang lebih lama daripada malam hari. Sebagai gambaran, waktu sholat maghrib saja baru tiba pukul 07.30 PM. Artinya, walau jam 7 malam, tapi matahari masih bersinar dengan santainya, dan baru tenggelam sekira setengah jam kemudian. Dan paginya, matahari ini akan muncul lebih awal.

Adanya Daylight saving time ini secara tidak langsung menjadi berkah bagi mereka yang bekerja di kebun, misalnya. Tak pelak, orang yang bekerja di kebun strawbery misalnya, dapat bekerja sejak jam 6 AM hingga 7 PM. 13 jam! Ya, karena pada jam 7 PM, matahari masih menyinari bumi. Karena itu, buah strawbery masih bisa dipetik.

Akan tetapi, hal ini tidak mengubah jam kerja di sektor formal. Walaupun pada jam 7 PM, matahari masih bersinar, warga tidak akan menambah jam kerja hingga matahari terbenam. Hal ini karena mereka mematok jam kerja rata-rata pada pukul 7/8 AM hingga 4/5 PM.
Ya, jika kembali Indonesia kelak, tentu saya bisa bercerita tentang negeri dimana siang bisa begitu panjang dan malam begitu pendek. Jika 16 tahun lalu hal ini baru sekedar hitungan teori dalam secarik kertas, saat ini saya mengalaminya sendiri.....

Oktober 07, 2008

Liburan "Kupatan"

Di Kudus atau mungkin juga di daerah lain di Indonesia, kupatan sering identik dengan plesir. Bagi orang jawa, kupatan adalah hari raya atau istilah jawanya bodo kupat. Bodo Kupat ini jatuh tujuh hari setelah hari raya idul Fitri. Mungkin bodo kupat ini diperuntukkan bagi mereka yang berpuasa enam hari berturut-turut pasca 1 Syawal. Yang pasti, kupatan selalu identik dengan berlibur ke tempat wisata.

Mungkin karena terdorong faktor itu, saya beserta istri dan beberapa teman pergi melancong ke beberapa tempat di Adelaide. Setelah berjalan ke luar kota sekitar 45 menit, akhirnya kami tiba di tempat tujuan pertama yakni Cleland Wildlife Park. Disini, akhirnya resmilah saya berada di Aussie. Lho kok??? Ya, kalau belum ketemu kangguru dan saudaranya koala, katanya belum sah menginjakkan kaki di Aussie. Ini mungkin seperti pergi ke Malioboro jika datang ke Yogyakarta. Setelah itu, perjalanan berlanjut ke mount Lofty. Di Mt. Lofty ini, kita bisa melihat kota Adelaide dari atas bukit. Hanya itu yang bisa dilihat, karena sampai di Mt. Lofty ini sudah terlalu sore yakni jam 5 sehingga sudah hampir ditutup.
Perjalanan pun berlanjut ke Hahndorf, sebuah kota kecil, semacam kecamatan kalau di Indonesia. Hahndorf merupakan daerah di Adelaide yang pertama kali disambangi oleh keluarga besar Prussian Lutheran pada 1839.

Nama Hahndorf sendiri berasal dari Captain Dirk Hahn yang tiba di Adelaide pada 1838 bersama para imigran lain dari Eastern Provinces of Prussia. Daerah ini sendiri sangat bernuansa jerman karena memang pada awalnya banyak didiami para imigran asal Jerman. Karena kami pergi pada hari sabtu dan sudah sore hari, banyak toko yang sudah tutup.
Walhasil, liburan dalam suasana kupatan pun tetap meriah...

Lebaran di OZ


Setelah melewati Ramadhan Karim, istilah Raymond El-Halou si kakek di rumahku, akhirnya datang juga idul fitri, 1 Syawal 1429 H yang bertepatan dengan hari rabu, 1 Oktober 2008. Di Australia, barang tentu yang namanya lebaran tidak sesemarak di Kudus atau Banyumas yang terletak ribuan mil di Indonesia. Akan tetapi, biar tetap ada suasana grengnya, saya dan beberapa teman dari Indo, berkumpul pada malam hari untuk bertakbiran bersama. Tak ada bunyi bedug yang bertalu-talu atau pakai pengeras, cukup di dalam rumah saja. Tak berapa lama, memang, hanya sekitar 2 jam saja. Paling tidak, hal itu sudah menjadi semacam obat rindu berlebaran gaya di rumah.
Pagi harinya, saya dan istri berangkat ke kampus untuk mengikuti sholat Iid. Mnurut shohibul hikayah, Sholat Iid di kampus Flinders ini baru pertama kali diadakan sepanjang sejarah penyelenggaraan sholat Idul Fitri. Biasanya, sholat Iid hanya diadakan di Masjid yang letaknya di tengah kota. Di pagi yang diselingi rintik hujan itu, sekitar 200an jamaah, dari orang tua hingga anak kecil, menjalankan ibadah yang hanya dilakukan setahun sekali itu. Event organizernya sendiri orang-orang indonesia yang tergabung dalam MIIAS atau masyarakat islam indonesia Australia Selatan.
Setelah itu, suguhan makanan, minuman dan jajan ala Indonesia telah tersedia. Suguhan ini dibawa oleh masing-masing jamaah. tak pelak, aneka makanan dari seantero nusantara akhirnya tersedia. Panitia sendiri menyediakan BBQ party. Walau jauh dari keluarga, pada akhirnya saya dan istri mendapat keluarga baru di Aussie. Dan ketupat opor yang awalnya hanya jauh di negeri asal juga akhirnya bisa disantap....

September 25, 2008

Jelajah Adelaide





Tak terasa sudah hampir 1 bulan di Adelaide, ibukota negara bagian South Australia. sejak mendarat pada hari kamis (28 Agustus) di Sydney lalu terbang ke Adelaide, tak terbayangkan jika saya sudah berkeliling ke beberapa wilayah terpencil di kota yang berpenduduk sekitar 1,2 juta. paling tidak, sesuai peta yang saya lihat, wilayah Adelaide bagian selatan dan utara sudah saya singgahi.





Tak heran jika nama-nama kayak Lobethal, Birdwood, Pooraka, Hanndroof atau One Tree Hill tiba-tiba menjadi akrab di telinga. Nama-nama seperti Kaliurang, jalan Magelang atau Denggung bahkan Ringinputih seperti lenyap dari memori. Dengan rencana 1,8 tahun tinggal di Adelaide, saya memang harus belajar mengenal Adelaide. Salah satu caranya dengan jalan-jalan tentunya. Sembari melihat keindahan kota Adelaide, baik wilayah kota maupun desanya. Yang saya cermati, baik wilayah desa maupun kotanya tidak terlalu jauh berbeda mencolok.



Ya, kesempatan ini tak saya sia-siakan untuk melihat dari dekat daerah "pedalaman" dari Adelaide. Hamparan padang rumput yang begitu luas banyak dimanfaatkan penduduk untuk beternak sapi atau biri-biri dan sebangsanya. Selain itu, jarak antara satu penduduk dan penduduk yang lain juga tidak terlalu padat. Hal ini memungkinkan tiap orang untuk memiliki lahan yang luas. Tidak heran jika satu orang penduduk hampir rata-rata memiliki rumah yang rada besar, lalu lahan untuk beternak dan terkadang juga kebun anggur atau strawberi. Tapi, untuk saat sekarang memang baru mau masuk musim semi, jadi kebun anggur, apel atau strawberi belum berbuah. Untuk musim dingin, antara Juni hingga September, biasanya para penduduk Adelaide memanfaatkannya untuk menanam pohon. Ya, semacam penghijauan atas lahan-lahan yang terlihat gundul. Oh ya, gundulnya hutan di Adelaide ini sebetulnya lebih banyak karena faktor alam. Artinya, banyak pohon yang tumbang karena terkena hembusan angin yang gede dan cuaca yang dingin banget. Jadi, tidak melulu karena ditebangi oleh manusia. Kalau ingat tebang menebang pohon di hutan, jadi ingat negeri sendiri, he he he...

September 18, 2008

Ramadhan Kaum Minoritas

Terhitung sudah 12 hari saya menjalani puasa di Australia. Negeri yang sering dijuluki negeri kangguru ini tak pelak memberi nuansa dan pengalaman berbeda dalam menjalani ibadah puasa. Hal ini tak bisa dihindari mengingat jumlah umat Islam, terutama di Adelaide-South Australia di mana saya tinggal, terhitung minoritas. Hingga saya menulis, saya masih belum bisa memperoleh informasi jumlah umat Islam di Adelaide maupun di Australia secara keseluruhan. Sebagai gambaran, pelaksanaan sholat Jumat sejauh ini baru saya temukan hanya di sebuah common room di kompleks Flinders University. Common room merupakan ruang yang disediakan pihak kampus sebagai tempat pelaksanaan ibadah semua agama. Jamaah sholat jumat sebagian besar diisi orang asal Indonesia.

Di negeri macam Indonesia, di mana penduduknya mayoritas beragama Islam, menjalankan puasa Ramadhan seperti sebuah hajatan besar. Hampir di tiap sudut kota kita bisa menemukan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa. Tak hanya itu, hampir semua media, baik cetak maupun televisi, mengubah format acaranya dengan liputan atau tayangan bernuansa religi. Belum lagi tiap sore di sudut jalan atau perempatan, kita hampir bisa menemukan penjaja makanan kecil atau kolak untuk sekedar menjadi makanan pembuka saat maghrib tiba. Pada waktu sahur pun, suasana lebih ramai ketika sekelompok anak muda berkeliling menabuh kentongan untuk membangunkan mereka yang hendak makan sahur.

Tidak sebagaimana di Indonesia, menjalankan ibadah puasa di negeri yang bisa dikatakan menempatkan agama atau keyakinan seseorang sebagai sesuatu yang privat, menjadi begitu individual. Individualitas dalam beragama bisa dimaknai sebagai upaya menjalankan ibadah dengan lebih mengandalkan kemandirian. Waktu untuk berbuka atau sahur tidak bisa lagi mengandalkan suara adzan, tabuhan bedug atau bunyi sirine dari masjid, tetapi harus melihat jam yang ada di rumah masing-masing. Tidak ada pula penjual kolak di perempatan jalan atau orang berkumpul di pusat kota untuk menanti waktu berbuka. Istilahnya ngabuburit. Di Australia, orang menanti berbuka puasa di rumah masing-masing. Kalaupun ada buka puasa bersama, cenderung dilakukan di kampus dan dalam jumlah yang terbatas.
***
Di Indonesia, ibadah yang dilakukan, baik puasa Ramadhan atau sholat, seringkali mengandalkan institusi masjid untuk menerima adanya penanda waktu sholat atau waktu berbuka. Hal ini tentu tidak bisa lagi diandalkan di negeri macam Australia. Waktu untuk sholat dan ibadah yang lainnya lebih banyak mengandalkan jadwal sholat yang bisa diambil dari situs islamicfinder.org. Dari situs inilah, saya menemukan penanda waktu sholat, berbuka hingga sahur.

Akan tetapi, justru disinilah makna puasa, bahkan mungkin ibadah-ibadah lainnya, menjadi lebih terlihat. Ketika kita menjalankan ibadah sebagai umat mayoritas, dengan atau tanpa sengaja, kita seolah meminta pemakluman orang lain yang tidak seagama untuk menghormati apa yang sedang kita jalankan. Terkadang, upaya pemakluman ini dilakukan dengan cara kekerasan. Tentu kita ingat adanya sekelompok orang yang menyerang tempat hiburan dan meminta pemiliknya untuk menutup lokasi usaha tersebut selama bulan Ramadhan. Alasannya, untuk menghormati orang yang menjalankan ibadah puasa. Hal ini menyiratkan adanya “pemaksaan” bahwa orang lain harus memahami ibadah yang kita jalankan.

Dalam konteks tersebut, rasa hormat yang dilakukan orang lain yang tidak seagama kepada umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa, misalnya, bukan lagi dilandasi pada penghormatan atas ibadah yang kita jalankan, akan tetapi karena rasa takut sebagai minoritas yang harus menghormati apa yang sedang dilakukan oleh kaum mayoritas.

Kultur mayoritas sering membuat orang menjadi egois dan kurang mempedulikan apalagi menghormati keyakinan orang yang berbeda. Memang tidak semua orang yang merasa diri sebagai mayoritas menjadi mau menang sendiri. Harus diakui pula, ada orang atau komunitas yang berada dalam payung mayoritas tapi tetap bisa menghormati bahkan melindungi kelompok lain yang minoritas. Akan tetapi pada umumnya, budaya kelompok mayoritas sering kali merasa harus menguasi dan memenangi segalanya.

Saya lalu teringat sebuah peristiwa beberapa tahun silam ketika masih menimba ilmu di Yogyakarta. Waktu itu, saya mengontrak rumah dengan beberapa teman yang sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Mereka ada yang berasal dari Banyuwangi, Semarang dan ada pula yang dari Sunda. Nah, waktu bulan puasa, salah seorang teman saya yang berasal dari Sunda menyimpan setumpukan pamflet di kamarnya. Tanpa sengaja, ketika saya dan teman-teman yang lain berada di kamarnya dan membaca tulisan dalam pamflet tersebut, saya cukup terperangah. Tulisannya kurang lebih; Hormati Bulan Puasa. Dilarang Berjualan Makanan dan Minuman pada Waktu Siang Hari.

Tidak ada yang salah dalam pamflet tersebut. Orang sah-sah saja membuat himbauan atau nasehat. Tetapi, dalam ruang publik, orang seharusnya menghormati orang lain yang tidak seagama yang notabene tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan. Secara otomatis, mereka pun butuh makan dan minum dan kadang kala hal itu bisa terpenuhi dengan membeli di warung makan, misalnya.

Sebagai minoritas yang sedang menjalankan ibadah puasa di negeri yang mayoritas tidak beragama Islam, ada pengalaman, pelajaran dan tantangan. Saya menjadi terbiasa bersanding dengan orang yang makan dan minum di tempat umum. Ketika sedang berada di halte dan menunggu bis, misalnya, walaupun sedang berpuasa dan kebetulan cuaca di Adelaide mulai masuk musim panas, saya tidak merasa dilecehkan ketika ada orang makan dan minum.

Pun, keberagamaan saya tidak berkurang nilainya ketika orang dengan seenaknya makan dan minum ketika saya berpuasa. Boleh jadi karena mereka tidak tahu bahwa saya sedang berpuasa di mana saya tidak boleh makan dan minum pada waktu siang hari hingga saat maghrib tiba. Saya pun teringat dengan ajaran agama yang intinya mengajarkan pada kita bahwa janganlah memarahi atau mengatakan sesuatu yang jelek pada orang lain karena mereka tidak tahu apa yang kita lakukan. Niscaya mereka akan melakukan hal yang lebih buruk.

Mengingat ajaran ini, saya tidak perlu repot-repot pasang pamflet untuk melarang orang berjualan makanan dan minuman pada waktu bulan Ramadhan atau beramai-ramai mendatangi klub hiburan dan meminta mereka untuk menutupnya selama bulan Ramadhan. Saya yakin, penghormatan mereka atas kita tidak akan muncul dengan sepenuh hati.

bisa dilihat di http://lkis.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=36&Itemid=3